“Cukup ya cukup”, adalah sebuah ungkapan basa-basi yang biasanya berarti tidak cukup. Tak cukup menjelaskan “seberapa yang cukup”.
Seorang lulusan “segar” universitas mendapat gaji satu juta perbulan, Apa ini cukup? Mungkin tidak sih, tapi apa ia punya pilihan lain? Ia melihat ke sekelilingnya dan menemukan bahwa teman-temannya juga mendapat gaji yang sama pada mulanya. Apa ini cukup? Baiklah, untuk saat ini, ok juga, fine, cukup.
Seorang lulusan “segar” universitas mendapat gaji satu juta perbulan, Apa ini cukup? Mungkin tidak sih, tapi apa ia punya pilihan lain? Ia melihat ke sekelilingnya dan menemukan bahwa teman-temannya juga mendapat gaji yang sama pada mulanya. Apa ini cukup? Baiklah, untuk saat ini, ok juga, fine, cukup.
Seorang buruh untuk mendapat upah sebesar itu harus bekerja dulu selama bertahun-tahun, dan walaupun ini tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia tak banyak mengeluh. Ia tahu bahwa banyak orang yang mendapat upah lebih sedikit ketimbang dia, sehingga ia mencoba memenuhi kebutuhan sampai akhir bulan dengan gaji yang ia peroleh. Tapi, apa ini cukup? Baiklah, ok juga, cukup.
Tanyalah pada seorang pembantu rumah tangga; ia bekerja hampir sepanjang hari. Dan, ia mendapat gaji lebih sedikit ketimbang seorang lulusan baru universitas yang hanya bekerja selama 8 jam sehari. Apa ia mengeluh? Apa ia iri pada para lulusan tersebut? Tidak, karena ia tahu bahwa mereka layak untuk itu, “Ia terdidik, sedangkan aku tidak.”
Setahun kemudian….
Lulusan ini bukan lagi “fresh graduate”, gajinya naik hingga 50 persen. Dan ia melihat ke sekelilingnya; ia menemukan bahwa beberapa temannya mendapat gaji lebih banyak. “Apa yang kamu katakan kawan? Apa peningkatan gaji ini cukup?” Ia menjawab, “Tidak, lihatlah temanku yang bekerja di perusahaan lain. Ia sekarang mendapat 2 juta rupiah setiap bulan plus bonus tunjangan lagi.”
Dan… kita berjumpa pula dengan buruh yang dengan susah payah mendapat peningkatan upah 10 persen saja, sama dengan yang diperoleh pembantu rumah tangga. Mereka begitu bahagia, “Kami baru mendapat kenaikan upah 10 persen lho. Lumayan, terimakasih Tuhan!”
Maka, bagaimana kita menyikapi keluhan si lulusan universitas ini?
Pertama-tama, apakah kedua hal ini bisa disikapi secara pukul rata?
Dan, kalau memang keluhan si lulusan universitas masuk di akal, lantas bagaimana komentar kita tentang buruh dan pembantu rumah tangga yang bisa merasa puas dengan peningkatan upah yang hanya 10 persen saja?
Pertanyaannya ialah, kapan cukup benar-benar cukup?
Dan, kapan tidak?
Dan, pertanyaannya lagi ialah, kapan sebuah keluhan itu layak dipertimbangkan dan masuk di akal?
Dan, kapan tidak?
Keluhan layak dipertimbangkan dan masuk di akal ketika ini dibuat oleh orang yang benar-benar pantas dihargai. Ini tak perlu dihiraukan saat dibuat oleh seseorang yang memang tak layak.
Apakah selama setahun ini si lulusan berkembang kemampuannya? Apa ia bekerja dengan baik? Apa ia berprestasi dengan memberi kontribusi tertentu? Dia juga harus mempertimbangkan ukuran dan kemampuan perusahaan tempat ia berkerja dong. Jika seniornya menerima bayaran 2 juta setelah bekerja selama 4 tahun, maka jelas ia tak dapat mengklaim gaji yang sama karena baru bekerja selama setahun. Dalam kasus semacam itu, perusahaan mungkin terlalu kecil baginya. Ia bisa bekerja keras untuk membuat perusahaan ini lebih besar, atau keluar dan cari perusahaan lain.
Jika selama setahun ini ia tak berkembang, ia masih terus menerus membuat kesalahan yang sama, dan cara kerjanya tak layak dihargai oleh majikannya – maka keluhannya sama sekali tak beralasan. Ia tak dapat mengharapkan gaji yang lebih tinggi hanya karena temannya yang bekerja di perusahaan lain di bayar lebih tinggi. Ini karena rasa iri saja.
Kita harus mempertimbangkan dan meninjau kemampuan kita sebelum mengeluh.
Karena, apa yang kita peroleh atau apa yang seharusnya kita peroleh seluruhnya bergantung pada apa yang kita perbuat – yang telah kita lakukan. Jangan mengharapkan output yang baik, jika inputnya jelek. Jangan mengharapkan peningkatan, jika kamu tak melakukan apapun guna mencapainya.
Kata “cukup” sebenarnya rancu. Ini salah kaprah. Tak berarti apa-apa. Karena ini tak ada ukuran bakunya.
Kata “cukup” sebenarnya rancu. Ini salah kaprah. Tak berarti apa-apa. Karena ini tak ada ukuran bakunya.
Jika kamu ingin menggunakan kata ini, maka kamu harus mendefinisikannya sesuai kriteriamu sendiri. Apa yang cukup untukmu bisa jadi tak cukup untuk ku, ya…Bagaimana kamu mendefinisikannya berbeda dengan bagaimana aku mendefinisikannya, ya…tapi, kita harus tahu pasti kemampuan kita sebelum mendefinisikannya, sebelum kita menentukan kriterianya.
Orang bodoh berkata “ tidak cukup” dengan bodoh pula.
Orang bodoh mengeluh terus dengan bodoh pula.
Orang bijak tak pernah mengeluh.
Mereka tak ada waktu untuk itu. Mereka tak mau menghabiskan energi untuk hal semacam itu. Mereka justru bekerja keras untuk merubah yang “tidak cukup” menjadi “cukup”.
Maka, terakhir, seperti apa sih yang cukup dan yang tak cukup?
Kita hanya mengeluh ini tak cukup ketika kemampuan kita tak berkembang, bertumbuh, dan mampu merubah yang tak cukup itu. Dengan kata lain, keluhan kita sebenarnya pelarian saja.
Mereka yang penuh percaya diri dan pada kemampuannya, mereka yang bertekad untuk terus berkembang, bertumbuh dan berubah – tak pernah mengeluh.
“Apa yang kuperoleh tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai pengobatan sakit punggung Ibu di desa sana,” kata seorang teman.
“Ya, cari kerjaan yang lebih baik dong.” Aku menasehatinya.
“Apa yang kuperoleh tak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai pengobatan sakit punggung Ibu di desa sana,” kata seorang teman.
“Ya, cari kerjaan yang lebih baik dong.” Aku menasehatinya.
“Tapi, amat sulit menemukan pekerjaan yang lain.” Ia menjelaskan.
Apa kamu melihat sebuah cara pandang di sini?
Jika memang sulit mencari pekerjaan, itu karena kamu sama dengan orang kebanyakan. Bursa kerja tak membutuhkanmu. Sehingga, kenapa kamu mengeluh?
Tapi, ia mempunyai seorang istri dan 3 anak untuk dinafkahi.
Dia juga harus membiayai pengobatan ibunya yang sakit….Baik, baik., baik majikanmu bisa jadi bersimpati denganmu. Tapi, ada 999 pegawai lain yang punya masalah yang sama. Dan, perusahaan memiliki skala pembayanan tertentu. Di atas segalanya, sebuah lembaga bisnis bukanlah lembaga sosial. Tujuannya amat jelas, komersil.
Ketika kamu merasa sulit untuk mencari pekerjaan lain, pekerjaan yang lebih baik – maka keluhanmu tak berarti sama sekali. Maka, terimalah “Cukup ya cukup” – untuk selamanya.
Ketika kamu tak merasa kesulitan untuk mendapat pekerjaan lain dengan prospek yang lebih baik – maka kamu tak perlu mengeluh. Kamu jarus bergerak untuk meraih pekerjaan itu.
Dan dalam kasus lain, keluhanmu tak masuk di akal, tak ada gunanya.
Maka, berhentilah mengeluh, cukup ya cukup…Gunakan seluruh energimu untuk bekerja untuk peningkatan hidupmu daripada memboroskan energi untuk mengeluh terus-menerus.
re post from aumkar.org
No comments:
Post a Comment